REPUBLIKA.CO.ID, Di masa selanjutnya, banyak pakar yang melakukan kajian terhadap Ishlah al-Manthiq. Bentuk kajian yang dilakukan sangat beragam, antara lain syarah yang ditulis oleh Abu Manshur Muhammad bin Ahmad al-Azhari al-Harawi (370 H) dan Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Murisi (460 H).
Ada pula kajian yang berbentuk ringkasan yang pernah ditulis oleh Abu Ali al-Hasan bin al-Mudhaffar an-Naisaburi (442 H) dan Syekh Abu Zakariya Yahya bin Ali al-Khathib at-Tibrizi (502 H).
Pokok Bahasan
Terdapat puluhan pola kata yang menjadi titik tolak pembahasan kitab Ishlah al-Manthiq. Ibnu as-Sikkit mengawali bahasannya dengan menyebutkan dua pola kata yang sama, tetapi mempunyai makna berbeda. Pola tersebut mengacu pada bentuk wazan fa’lin dan fi’lin.
Berdasarkan pola ini, ada beberapa kata yang nyaris serupa, tetapi berbeda makna. Di antaranya adalah kata "hamlu" dan "himlu". Keduanya berasal dari pola dasar kata yang sama, tetapi dalam penggunaannya berbeda. Kata hamlu diartikan dengan sesuatu yang berada di dalam perut atau yang di atas ujung pohon. Sedangkan himlu berarti barang yang dibawa di atas punggung ataupun kepala.
Kata hamlu inilah yang menurut al-Farra menjadi asal kata hamil yang berarti mengandung. Kata hamil, kata dia, adalah kata sifat yang khusus diperuntukkan bagi perempuan.
Selanjutnya, Ibnu as-Sikkit menyebutkan kata yang berpola sama dan memiliki kesamaan arti, misalnya kata "hajj" dan "hijj" yang berarti kunjungan. Sama halnya dengan kata nahyun dan nihyun. Keduanya berarti larangan. Sedangkan dari wazan fi’lin dan fa’alin yang serupa makna seperti penggunaan kata najisun dan najasun yang berarti najis.
Pun demikian dengan kata "haraj" dan "hirj" yang sama-sama berarti kesulitan. Masih dalam wazan yang sama, tetapi berbeda makna, contohnya adalah kata "farijun" dengan "farajun". Farijun berarti laki-laki yang terbuka daerah kemaluannya, sedangkan farajun adalah hilangnya kesusahan dari seseorang.
Ibnu Sikkit juga memberikan catatan pula terhadap kata yang harus dibaca sesuai dengan tanda baca. Menurutnya, ini penting diperhatikan karena jika tidak sesuai, selain akan berefek pada makna yang berlainan, dengan membaca berbeda bisa menghilangkan kefasihan bahasa.
Contohnya, antara lain kata-kata yang harus diberikan dan dibaca tasdid pada salah satu hurufnya, seperti kata "hijjirahu" yang berarti tindak tanduk seseorang. Tanda baca lain, yang dicontohkan Ibnu as-Sikkit, yaitu kata yang tak perlu ada tasydid di salah satu hurufnya.
Contoh kecil adalah lafal "amin" yang kerap dibaca seusai imam shalat membaca surah al-Fatihah. Menurutnya, kata amin tidak perlu dibaca dengan tasydid sehingga berbunyi "ammin". Cukup dibaca tanpa tasydid, yakni amin. Contoh lain adalah kata mustawiyan yang berarti datar atau lurus, tidak usah dibaca mustawiyyan.
Pun begitu dengan kata "rafahiyah" yang berarti kesejahteraan, atau "karahiyah" yang berarti kebencian. Jika membaca kedua kata itu, tanpa menyertakan tasydid di huruf kedua sebelum huruf terkahir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar