Diriwayatkan dari Abu Dzar ra, ia berkata,
“Orang-orang berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah,
orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka mengerjakan shalat
sebagaimana kami shalat dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa.
Tetapi, mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka’.
Nabi
bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dengannya engkau
bisa bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap
tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar makruf nahi
mungkar adalah sedekah, dan bersetubuh (dengan istrinya) adalah
sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di
antara kami mendapatkan pahala sedangkan ia melampiaskan syahwatnya?’
Rasulullah bersabda, ‘Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya
pada yang haram ia memperoleh dosa? Demikian pula jika ia menempatkan
syahwatnya pada yang halal maka ia pun akan mendapatkan pahala’.” (HR
Muslim).
Ketika kita diserbu oleh pesona iklan yang luar biasa
dari banyak produk, impian pun melambung tinggi untuk segera
memilikinya, seperti rumah, kendaraan, elektronik, atau perkakas rumah
yang serbamewah. Ketika gaya hidup mewah sudah menyergap, korupsi
menjadi mata pencaharian, maka banyak orang yang berada di bawah garis
kemiskinan, hanya bisa gigit jari. Ada yang apatis, muak, jengah, namun
tak urung ada pula yang terjerat dalam hayalan yang berkepanjangan.
Di
tengah interaksi kehidupan Nabi dan para sahabatnya, bukan tidak ada
orang yang kaya raya. Namun, bagaimana kekayaan yang mereka miliki
justru dipersembahkan untuk sesuatu yang lebih agung, lebih luhur, dan
abadi, yakni di jalan Allah. Sehingga, cita-cita dan obsesi para sahabat
yang miskin yang melihatnya pun bukan untuk memiliki harta yang
melimpah ruah, kendaraan yang mewah, istana yang megah, atau baju yang
indah seperti mereka. Namun, bagaimana mereka juga bisa beramal seperti
sahabat yang kaya demi kebahagiaan di akhirat. (QS al-A‘la: 16-17, dan
adh-Dhuha: 4).
Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa
dimensi ibadah dalam Islam itu begitu luas. Bukan hanya sebatas harta,
namun juga menjangkau banyak sisi kehidupan yang nyaris semua orang bisa
melakukannya, tergantung lemah dan kuatnya niat. Jika tidak kuat secara
materi maka bisa melalui fisik, pikiran, atau apa pun yang kita mampu.
Bukankah tasbih, tahmid, dan tahlil nyaris tidak membutuhkan pengorbanan
fisik dan materi sedikit pun dari pelakunya? Demikian pula amar makruf
nahi mungkar.
Bahkan, ketika sepasang suami-istri menunaikan
haknya masing-masing, di mana mereka bisa mereguk nikmatnya berkeluarga,
justru di situ pun terbentang pahala. Karena, ketika hal itu disalurkan
kepada yang haram maka pelakunya akan menuai dosa.
Demikian pula dengan perilaku seseorang ketika makan, minum,
berbisnis, berjalan, belajar, bekerja, berbicara, menelepon,
facebook-an, chatting, berinteraksi dengan sesama, dan aktivitas
lainnya, semua itu tetap bernilai ibadah, sepanjang berada dalam koridor
yang halal, menjalankan ketaatan, atau menghindari larangan. Karena
itu, banyak ruang dan tempat untuk meraih keridaan Allah. Wallahu a‘lam
bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar